Marion, S.Pd.,
Email: marion70@mail.go.id
1. Pendahuluan
Filsafat secara etimilogi berasal dari bahasa Arab yaitu “Falsafah”. Kata ini berpadanan dengan kata “philos” berarti cinta dan “logos” berarti kebijaksanaan dalam bahasa Yunani. Dengan demikian Filsafat dapat diartikan mencintai kebijaksanaan. Filsuf adalah sebutan untuk orang yang ahli filsafat. Seorang filsuf adalah pencari kebijaksanaan, pecinta kebijaksanaan dalam arti hakikat.
Sedangkan secara terminologi memiliki arti beragam sesuai kecenderungan pemikiran filsuf yang mengungkapkannya. Dari banyak terminologi pengertian filsafat yang diungkapkan para ahli dapat dijelaskan bahwa filsafat hakikatnya adalah upaya pemikiran manusia untuk mengetahui hakikat atau kebenaran segala sesuatu yang ada.
Ada tiga cabang utama kajian filsafat, yaitu (1) logika, mengkaji apa yang disebut benar dan apa yang disebut salah; (2) etika, mengkaji apa yang baik dan apa yang buruk; (3) estetika, mengkaji apa yang indah dan apa yang jelek. Ketiga cabang utama ini selanjutnya berkembang menjadi banyak cabang filsafat, satu di antaranya adalah filsafat ilmu.
Filsafat ilmu, menurut Suriasumantri(2007, 33-34) merupakan telaah filsafat yang ingin menjawab tiga kelompok pertanyaan mengenai hakikat ilmu: (1) Kelompok pertanyaan yang sering disebut landasan ontologis ilmu pengetahuan, yaitu pertanyaan-pertanyaan seputar apa yang dikaji oleh ilmu pengetahuan, (2) Kelompok pertanyaan yang disebut landasan epistemologis ilmu pengetahuan, yaitu pertanyaan-pertanyaan seputar bagaimana cara mendapatkan ilmu pengetahuan, dan (3) Kelompok pertanyaan yang disebut landasan axiologis pengetahuan, yaitu pertanyaan-pertanyaan seputar untuk apa ilmu pengetahuan tersebut dipergunakan.
Selanjutnya dalam kajian ini, penulis akan membahas khusus seputar landasan ontologis ilmu pengetahuan.
2. Definisi Ontologi
Ontologi merupakan kajian utama filsafat, di samping epistemologi dan axiologi. Istilah ontologi berasal dari bahasa yunani yaitu On/Ontos = ada, dan Logos = ilmu. Jadi, ontologi adalah ilmu tentang yang ada. Sedangkan menurut istilah, ontologi adalah ilmu yang membahas tentang hakikat yang ada, yang merupakan ultimate reality baik yang berbentuk jasmani/konkret maupun rohani/abstrak (Bakhtiar, 2004).
Suriasumantri (2007), menulis ontologi membahas tentang apa yang ingin kita ketahui, seberapa jauh kita ingin tahu, atau, dengan kata lain suatu pengkajian mengenai teori tentang “ada”. Telaah ontologis akan menjawab pertanyaan-pertanyaan (a) apakah obyek ilmu yang akan ditelaah? (b) bagaimana wujud yang hakiki dari obyek tersebut, dan (c) bagaimana hubungan antara obyek tadi dengan daya tangkap manusia (seperti berpikir, merasa, dan mengindera) yang membuahkan pengetahuan.
Pendapat lain diungkapkan oleh Soetriono dan Hanafie (2007), bahwa ontologi merupakan azas dalam menerapkan batas atau ruang lingkup wujud yang menjadi obyek penelaahan (obyek ontologis atau obyek formal dari pengetahuan) serta penafsiran tentang hakikat realita (metafisika) dari obyek ontologi atau obyek formal tersebut dan dapat merupakan landasan ilmu yang menanyakan apa yang dikaji oleh pengetahuan dan biasanya berkaitan dengan alam kenyataan dan keberadaan.
Dari beberapa pendapat di atas, penulis menyimpulkan bahwa ontologi dapat didefinisikan sebagai kajian filsafat tentang hakikat segala sesuatu yang ada, baik kongkrit maupun abstrak.
3. Objek Kajian Ontologi
Objek telaahan ontologi secara umum adalah “yang ada”. Yang ada ini dapat diartikan sebagai ada individu, ada umum, ada terbatas, ada tidak terbatas, ada universal, ada mutlak, termasuk kosmologi dan metafisika dan ada sesudah kematian maupun sumber segala yang ada, yaitu Tuhan Yang Maha Esa, Pencipta dan Pengatur serta Penentu alam semesta.
Objek formal ontologi adalah hakikat seluruh realitas. Hakikat kenyataan atau realitas bisa didekati ontologi dengan dua macam sudut pandang, yaitu (1) kuantitatif, dengan mempertanyakan apakah kenyataan itu tunggal atau jamak?; dan (2) kualitatif, dengan mempertanyakan apakah kenyataan (realitas) tersebut memiliki kualitas tertentu, seperti misalnya daun yang memiliki warna kehijauan, bunga mawar yang berbau harum.
4. Konsep ontologi
Ada lima konsep yang dikembangkan dalam ontologi, yaitu:
1) Umum dan tertentu;
Umum (universal) adalah sesuatu yang pada umumnya dimiliki oleh sesuatu sedangkan tertentu (particular) adalah entitas nyata yang terdapat pada ruang dan waktu;
2) Kesengajaan (substance) dan ketidaksengajaan (accident).
Kesengajaan adalah petunjuk yang dapat menggambarkan sebuah obyek sedangkan ketidaksengajaan dalam filsafat adalah atribut yang mungkin atau tidak mungkin dimiliki oleh sebuah obyek
3) Abstrak dan kongkrit.
Abstrak adalah obyek yang ”tidak ada” dalam ruang dan waktu tertentu, tetapi ”ada” pada sesuatu yang tertentu, contohnya: ide. Sedangkan kongkrit adalah obyek yang ”ada” pada ruang tertentu dan mempunyai orientasi untuk waktu tertentu.
4) Esensi dan eksistensi
Esensi adalah atribut atau beberapa atribut yang menjadi dasar keberadaan sebuah obyek sedangkan eksistensi adalah kenyataan akan adanya suatu obyek yang dapat dirasakan oleh indera.
5) Determinisme dan indeterminisme.
Determinisme adalah pandangan bahwa setiap kejadian merupakan bagian yang tak terpisahkan dari rangkaian kejadian-kejadian sebelumnya sedangkan indeterminisme merupakan kebalikan determinisme.
5. Aspek Ontologis
Aspek ontologis pengembangan ilmu pengetahuan hendaknya diuraikan secara (1) metodis, yaitu menggunakan cara ilmiah; (2) sistematis, yaitu saling berkaitan satu sama lain secara teratur dalam suatu keseluruhan; (3) koheren, yaitu unsur-unsurnya tidak boleh mengandung uraian yang bertentangan; (4) rasional, yaitu harus berdasar pada kaidah berfikir yang benar (logis); (5) komprehensif, yaitu melihat obyek tidak hanya dari satu sisi/sudut pandang, melainkan secara multidimensional – atau secara keseluruhan (holistik); (6) radikal, yaitu diuraikan sampai akar persoalannya, atau esensinya; dan (7) universal, yaitu muatan kebenarannya sampai tingkat umum yang berlaku di mana saja.
6. Metode dalam Ontologi
Menurut Lorens Bagus (dalam Muhajir, 2001) dalam ontologi terdapat tiga tingkatan abstraksi, yaitu abstraksi fisik, abstraksi bentuk, dan abstraksi metafisik. Abstraksi fisik menampilkan keseluruhan sifat khas sesuatu objek, sedangkan abstraksi bentuk mendeskripsikan sifat umum yang menjadi ciri semua sesuatu yang sejenis. Terakhir abstraksi metafisik mengetengahkan prinsip umum yang menjadi dasar dari semua realitas.
Selanjuntnya Laurens Bagus membedakan ada dua metode pembuktian dalam ontologi, yaitu : pembuktian a priori dan pembuktian a posteriori. Pembuktian a priori disusun dengan meletakkan term tengah berada lebih dahulu dari predikat dan pada kesimpulan term tengah menjadi sebab dari kebenaran kesimpulan.
Contoh : Sesuatu yang bersifat lahirah itu fana (Tt-P)
Badan itu sesuatu yang lahiri (S-Tt)
Jadi, badan itu fana’ (S-P)
Sedangkan pembuktian a posteriori secara ontologi, term tengah ada sesudah realitas kesimpulan dan term tengah menunjukkan akibat realitas yang dinyatakan dalam kesimpulan. Pembuktian a posterioris disusun dengan tata silogistik sebagai berikut:
Contoh : Gigi geligi itu gigi geligi rahang dinasaurus (Tt-S)
Gigi geligi itu gigi geligi pemakan tumbuhan (Tt-P)
Jadi, Dinausaurus itu pemakan tumbuhan (S-P)
Perbedaan tata silogistik pembuktian a priori dengan a posteriori terletak pada hubungan term tengah (Tt) dengan predikat dan subyek. Pembuktian a priori di berangkatkan dari term tengah di hubungkan dengan predikat dan term tengah menjadi sebab dari kebenaran kesimpulan, sedangkan pembuktian a posteriori di berangkatkan dari term tengah di hubungkan dengan subjek danterm tengah menjadi akibat dari realitas dalam kesimpulan.[2]
7. Aliran-Aliran Ontologi
Dalam mempelajari ontologi muncul beberapa pertanyaan yang kemudian melahirkan aliran-aliran dalam filsafat. Dari masing-masing pertanyaan menimbulkan beberapa sudut pandang mengenai ontologi. Pertanyaan itu berupa “Apakah yang ada itu? (What is being?)”, “Bagaimanakah yang ada itu? (How is being?)”, dan “Dimanakah yang ada itu? (What is being?)”.
Menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, lahirlah 5 (lima) aliran dalam filsafat, yaitu:
1) Aliran Monoisme.
Aliran ini berpendapat bahwa yang ada itu hanya satu, tidak mungkin dua. Haruslah satu hakikat saja sebagai sumber yang asal, baik yang asal berupa materi ataupun berupa ruhani. Tidak mungkin ada hakikat masing-masing bebas dan berdiri sendiri. Haruslah salah satunya merupakan sumber yang pokok dan dominan menentukan perkembangan yang lainnya. Plato adalah tokoh filsuf yang bisa dikelompokkan dalam aliran ini, karena ia menyatakan bahwa alam ide merupakan kenyataan yang sebenarnya.
Paham ini kemudian terbagi ke dalam dua aliran yaitu aliran materialisme dan aliran idealisme. Aliran materialisme menganggap bahwa yang asal itu materi bukan rohani. Aliran ini sering juga disebut dengan Naturalisme. Menurut aliran ini zat mati merupakan kenyataan dan satu-satunya fakta. Seperti dijelaskan Rapar dalam Soetriono & Hanafie (2007), bahwa materialisme menolak hal-hal yang tidak kelihatan. Bagi mereka, yang ada sesungguhnya adalah keberadaan yang semata-mata bersifat material atau sama sekali tergantung pada material. Aliran pemikiran ini dipelopori oleh bapak filsafat yaitu Thales (624-546 SM). Ia berpendapat bahwa unsur asal adalah air, karena pentingnya bagi kehidupan. Kemudian Anaximander (585-528 SM) berpendapat bahwa unsur asal itu adalah udara, dengan alasan bahwa udara merupakan sumber dari segala kehidupan. Demokritos (460-370 SM) berpendapat bahwa hakikat alam ini merupakan atom-atom yang banyak jumlahnya, tak dapat dihitung dan amat halus. Atom-atom itulah yang merupakan asal kejadian alam.
Sedangkan aliran idealisme menganggap bahwa hakikat kenyataan yang beraneka ragam itu semua berasal dari ruh (sukma) atau sejenis dengannya, yaitu sesuatu yang tidak berbentuk dan menempati ruang. Ditegaskan oleh Rapar dalam Soetriono & Hanafie (2007), bahwa bagi aliran ini, segala sesuatu yang tampak dan terwujud nyata dalam alam indrawi hanya merupakan gambaran atau bayangan dari yang sesungguhnya, yang berada di dunia idea.
2) Aliran Dualisme
Aliran dualisme adalah aliran yang memadukan antara dua paham yang saling bertentangan antara materialisme dan idealisme. Menurut aliran ini materi maupun ruh sama-sama merupakan hakikat. Paham yang serba dua aliran ini berpendapat bahwa di dalam dunia ini selalu dihadapkan pada dua pengertian, yaitu ‘yang ada sebagai potensi’ atau disebut juag materi (hule) dan ‘yang ada secara terwujud’ atau disebut juga bentuk (eidos).
3) Aliran Pluralisme
Aliran Pluralisme bertolak dari keseluruhan dan mengakui bahwa segenap macam bentuk itu semuanya nyata. Kenyataan alam ini tersusun dari banyak unsur, lebih dari satu atau dua entitas. Tokoh aliran ini pada masa Yunani Kuno adalah Anaxagoras dan Empedocles, yang menyatakan bahwa substansi yang ada itu terbentuk dan terdiri dari empat unsur, yaitu tanah, air, api, dan udara. Sedangkan tokoh modern aliran ini adalah William James (1842-1910 M), yang mengemukakan bahwa tiada kebenaran yang mutlak, yang berlaku umum, yang bersifat tetap, yang berdiri sendiri, dan lepas dari akal yang mengenal.
4) Aliran Nihilisme
Nihilisme berasal dari bahasa Latin yang berarti nothing atau tidak ada. Aliran yang tidak mengakui validitas alternatif yang positif. Istilah nihilisme diperkenalkan oleh Ivan Turgeniev pada tahun 1862 di Rusia. Doktrin tentang nihilisme sebenarnya sudah ada semenjak zaman Yunani Kuno, yaitu pada pandangan Gorgias (485-360 SM) yang memberikan tiga proposisi tentang realitas, yaitu: (1) tidak ada sesuatupun yang eksis, (2) bila sesuatu itu ada, maka ia tidak dapat diketahui, dan (3) sekalipun realitas itu dapat kita ketahui, ia tidak akan dapat kita beritahukan kepada orang lain.
Tokoh lain aliran ini adalah Friedrich Nietzche (1844-1900 M). Dalam pandangannya dunia terbuka untuk kebebasan dan kreativitas manusia. Mata manusia tidak lagi diarahkan pada suatu dunia di belakang atau di atas dunia di mana ia hidup.
5) Aliran Agnostisisme
Aliran ini mengingkari kesanggupan manusia untuk mengetahui hakikat benda, baik hakikat materi maupun hakikat ruhani. Kata agnostisisme berasal dari bahasa Yunani Agnostos. Dalam bahasa Inggris berpadanan dengan kata unknown artinya tidak diketahui, tidak dikenal. Timbulnya aliran ini dikarenakan belum dapatnya orang mengenal dan mampu menerangkan secara konkret akan adanya kenyataan yang berdiri sendiri dan dapat kita kenal. Tokoh aliran ini adalah Soren Kierkegaar (1813-1855 M) yang terkenal dengan julukan sebagai Bapak Filsafat Eksistensialisme, yang menyatakan bahwa manusia tidak pernah hidup sebagai suatu aku umum, tetapi sebagai aku individual yang sama sekali unik dan tidak dapat dijabarkan ke dalam sesuatu orang lain. Selanjutnya ada Martin Heidegger (1889-1976 M), yang mengatakan bahwa satu-satunya yang ada itu ialah manusia, karena hanya manusialah yang dapat memahami dirinya sendiri dan Jean Paul Sartre (1905-1980 M), yang mengatakan bahwa manusia selalu menyangkal. Hakikat beradanya manusia bukan entre (ada), melainkan a entre (akan atau sedang). Jadi, agnostisisme adalah paham pengingkaran/penyangkalan terhadap kemampuan manusia mengetahui hakikat benda, baik materi maupun ruhani.
8. Penutup
Dari uraian di atas dapat ditarik beberapa simpulan, di antaranya:
1) Ontologi merupakan kajian filsafat ilmu yang membahas tentang hakikat segala sesuatu yang ada, baik kongkrit maupun abstrak.
2) Obyek kajian ontologi adalah hakikat seluruh realitas, baik kuantitas maupun kualitas.
3) Konsep Ontologi meliputi (1) Umum dan tertentu, (2) Kesengajaan (substance) dan ketidaksengajaan (accident), (3) Abstrak dan kongkrit, (4) Esensi dan eksistensi dan (5) Determinisme dan indeterminisme.
4) Metode pembuktian dalam Ontologi dibagi dua, yaitu a priori dan a posteriori
5) Aspek ontologis pengembangan ilmu pengetahuan hendaknya diuraikan secara (1) metodis, sistematis, koheren, rasional, komprehensif, radikal, dan universal.
6) Aliran-aliran Ontologi terdiri dari (1) Monoisme, meliputi materialisme dan idealisme, (2) Dualisme, (3) Pluralisme, (4) Nihilisme dan (5) Agnostosisme.
Daftar Pustaka
Bakhtiar, Amsal. 2004. Filsafat Ilmu. Jakarta:Raja Grafindo Persada.
Muhadjir, Noeng. 2001. Filsafat Ilmu. Yogjakarta:Rake Sarasin.
Rakhmadanti, Suci. Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi. Online: http://cacink252.blogspot.com/2013/05/ontologi-epistemologi-dan-aksiologi.html, diakses pada 27 September 2013
Soetriono & Hanafie. 2007. Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian. Yogyakarta: Andi.
Suriasumantri, Jujun.S. 2007. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta:Pustaka Sinar Harapan
No comments:
Post a Comment