SELAMAT DATANG SAUDARAKU. SEMAKIN KITA BERBAGI, SEMAKIN BANYAK BAGIAN KITA

Sunday, October 14, 2012

UPAYA MENINGKATKAN PRESTASI BELAJAR MATEMATIKA MELALUI PENDEKATAN PROBLEM POSING

OLEH
MARION, S.Pd.

A B S T R A K



Penelitian ini berjudul “Upaya Meningkatkan Prestasi Belajar Matematika Siswa Kelas II.4 SMP Negeri 1 Tanjung Raja Tahun Pelajaran 2004/2005 Melalui Pendekatan Problem Posing”, dengan tujuan untuk meningkatkan prestasi belajar siswa. Penelitian dilakukan dalam tiga siklus, menghasilkan rata-rata nilai ulangan harian pada siklus I 6,38 meningkat menjadi 7,14 pada siklus II dan 7,57 pada siklus III. Sebagai pendukung dianalisis 77 soal buatan siswa. Tiga soal diantaranya merupakan soal matematika yang tidak dapat diselesaikan, dengan  struktur sintaksis berupa proposisi pengandaian sebanyak 13 soal dan sisanya merupakan proposisi tugas. Sedangkan dipandang dari struktur semantik soal, 61 soal di antaranya memiliki tingkat hubungan-0, 13 soal memiliki tingkat hubungan-1 dan 2 soal merupakan soal yang lebih kompleks memiliki tingkat hubungan-2. Dari hasil analisis soal buatan siswa ini dapat dikatakan pemahaman siswa secara bertahap semakin meningkat, yang pada akhirnya meningkatkan prestasi belajarnya.  Secara umum penelitian tindakan kelas ini dapat disimpulkan bahwa pembelajaran dengan pendekatan Problem Posing berdampak positif bagi peningkatan  prestasi siswa.


Kata Kunci: Prestasi Belajar, Problem Posing




PENDAHULUAN

    Prestasi belajar matematika di SMP Negeri 1 Tanjung Raja, khususnya kelas II.4 yang penulis asuh, masih jauh dari harapan. Hasil ulangan harian menunjukkan nilai rata-rata hanya 6,43 dengan 19 orang yang saja ( 51,4 %) yang dapat dianggap tuntas secara individual. Berdasarkan teori ketuntasan belajar klasikal angka tersebut masih jauh dari angka 85 % yang merupakan patokan standar nasional (Depdikbud,1989). Sebagai kelas unggulan, tentu saja hasil tersebut  mengecewakan.       Bila  dianalisis lebih jauh, nilai  tersebut menghasilkan angka baku (standar deviasi) sebesar 2,44.  Angka yang cukup  untuk menjelaskan besarnya kesenjangan antara siswa yang mampu dan siswa yang tidak mampu.
    Dari pengamatan sepintas dan pengalaman penulis satu di antara  penyebab kondisi memprihatinkan  di atas adalah rendahnya pemahaman siswa terhadap pelajaran matematika yang terlihat dari rendahnya prestasi belajar siswa.

MASALAH
Apakah Pendekatan pembelajaran Problem Posing  dapat meningkatkan prestasi  belajar matematika siswa kelas II.4 SMP Negeri 1 Tanjung Raja Tahun 2004/2005 ?

PEMBAHASAN
Menurut pengertian bahasa, problem posing merupakanmerupakan istilah dalam bahsa Inggris yang artinya pembentukan soal atau pembentukan masalah yang mencakup dua kegiatan, (1) pembentukan soal baru dari pengalaman siswa dan (2) pembentukan soal dari soal yang ada.
Menurut As’ari (2000), problem posing merupakan pendekatan pembelajaran yang menekankan pada adanya kegiatan perumusan soal sendiri oleh siswa, menyelesaikan jawaban dan bertukar menyelesaikan soal buatan teman yang lain. Sedangkan NCTM (Asosiasi guru-guru Matematika Amerika Serikat) menyatakan, “Problem posing is the heart of mathematics”.
Hudoyo dan Hashimoto (dalam As’ari, 1999) menegaskan bahwa siswa harus diberikan kesempatan sebesar-besarnya untuk mengalami membuat soal sendiri (problem posing). Dengan membuat soal sendiri, siswa senantiasa mengkonstruksi pemahaman baru. Pertanyaan-pertanyaan yang dimunculkan seringkali menjadi pemicu terbentuknya pemahaman yang lebih mantap pada diri seseorang dan menimbulkan dampak positif terhadap kemampuan siswa dalam pemecahan masalah.
     Silver dan Cai (dalam As’ari, 1999) mengelompokkan soal yang dibuat siswa menjadi 3 kelompok, yaitu (1) pertanyaan matematika, (2) pertanyaan nonmatematika, (3) pernyataan. Pertanyaan matematika ada yang dapat diselesaikan dan ada yang tidak dapat diselesaikan
Silver dan Cai (dalam As’ari, 1999) mengklasifikasikan strukutur  sintaksis   soal yang dibuat siswa menjadi  3 kelompok, yaitu proposisi tugas, proposisi hubungan dan proposisi pengandaian. Proposisi tugas adalah pertanyaan yang mengandung tugas untuk diselesaikan. Contoh “berapa luas segitiga samasisi yang panjang sisi-sisinya 25 cm?”. Proposisi hubungan adalah pertanyaannnya mengandung tugas untuk membandingkan. Contoh”Berapa cm2 lebihnya luas segitiga ABC dengan luas segitiga PQR?”. Sedangkan proposisi pengandaian merupakan pertanyaan yang menggunakan informasi tambahan yang tidak terdapat dalam situasi yang diberikan. Contoh “Jika luas segitiga A 12 cm2 dan perbandingan sisi segitiga A dan B adalah 5 banding 4, berapakah luas segitiga B?”
Struktur semantik soal   terbagi dalam 5 kategori, yaitu mengubah, mengelompokkan, menyatakan kembali dan memvariasikan. Bila sebuah soal merupakan pertanyaan matematika yang dapat dijawab langsung dari informasi yang ada, maka tingkat kesukaran soal tersebut memiliki hubungan-0. Bila soal merupakan pertanyaan matematika yang tidak dapat dijawab langsung dan mengandung satu unsur semantik, maka tingkat kesukaran soal memiliki hubungan-1 dan bila merupakan pertanyaan matematika tidak dapat dijawab langsung dan mengandung dua unsur semantik, maka tingkat kesukaran soal memiliki hubungan-2, dan seterusnya(Marshal dalam Silver dan Cai seperti dikutip oleh As’ari, 1999).

SIKLUS  I

    Tindakan penelitian pada siklus I dilakukan setelah selesai pokok bahasan Teorema Pythagoras, yaitu dengan meminta siswa secara berkelompok membuat satu buah soal berdasarkan cerita/prakondisi yang diberikan dan selanjutnya menuliskan jawabannya. Tiap kelompok menghasilkan satu buah soal.  Selanjutnya soal-soal ditukar untuk dikerjakan oleh kelompok lain. Soal-soal  buatan siswa selanjutnya dianalisis oleh guru peneliti.
    Dari 9 kelompok siswa diperoleh 5 soal  yang semuanya merupakan jenis soal matematika yang dapat diselesaikan. Ini menunjukkan siswa cukup memahami materi yang dipelajari, Tidak ada satu pun kelompok membuat soal matematika yang tidak dapat diselesaikan atau yang bukan soal matematika serta pernyataan. Selanjutnya struktur sintaksis soal semuanya merupakan proposisi tugas, yaitu soal yang memanfaatkan  informasi yang ada. Tidak ada pengandaian dan perbandingan.  Sedangkan struktur semantic soal, 2 soal memiliki tingkat kesukaran hubungan-1 dan sisanya memiliki tingkat kesukaran hubungan-0. Atau 40 % soal memiliki kesukaran yang  lebih tinggi dan 60 % sisanya soal-soal yang cukup mudah untuk diselesaikan.
Dari hasil ulangan harian pada siklus pertama ini diperoleh rata-rata kelas 6,38 dengan 62,2 % siswa tuntas. Jika dibanding dengan nilai rata-rata sebelum penelitian,mengalami penurunan sebesar 0,15, yaitu 6,43, namun jumlah siswa tuntas meningkat dari sebelumnya hanya 51,4 %.  Berdasarkan hasil pengamatan kolaborator, penurunan nilai tersebut disebabkan beberapa faktor antara lain pendekatan problem posing masih asing bagi siswa, adanya kehadiran guru pengamat, dan disiplin serta manajemen waktu yang sedikit meningkat. Ini mengakibatkan suasana kelas masih terasa kaku.
Dari  pengamatan dan hasil penelitian pada siklus I di atas, tujuan pemelitian belum tercapai, karena banyak kelemahan-kelemahan yang harus diperbaiki, di antaranya (1) suasana kelas masih kaku, belum ada  siswa yang bertanya atau mengajukan pendapat bila diberi kesempatan,(2) metode penyampaian materi menggunakan pengajaran lansung terasa jenuh bagi siswa,(3) tidak dapat mengukur kemampuan siswa menyusun soal secara individual, karena tugas diberikan secara kelompok. Untuk memperbaiki ini penelitian diteruskan pada siklus kedua.
SIKLUS II

Tugas penyusunan  soal pada siklus ini diberikan perorangan dan proses pembelajaran dilakukan menggunakan metode tidak langsung, yaitu menggunakan metode cooperative learning jenis jigsaw. Maksud penggunaan metode ini guna memberikan variasi pembelajaran agar siswa tidak merasa jenuh.
Dari 37 siswa diperoleh 14 soal  jenis soal matematika yang dapat diselesaikan dan 2 soal matematika yang tidak dapat diselesaikan. Struktur sintaksis soal semuanya merupakan proposisi tugas. 13 soal memiliki struktur semantic dengan tingkat hubungan-0 dan 1 soal memiliki tingkat hubungan-1. Hal ini menunjukkan 1 siswa sudah berani mengembangkan informasi yang ada untuk melahirkan soal dengan tingkat kesukaran lebih tinggi.
Nilai rata-rata ulangan harian pada siklus ini mengalami peningkatan menjadi 71,4 dengan 59,5 % siswa tuntas. Terlihat ada penurunan kuantitas ketuntasan. Ini dapat dipahami karena pembelajaran pada siklus ini menggunakan metode pembelajaran cooperative learning jenis jigsaw yang  membutuhkan kemampuan dasar untuk memahami  informasi yang tersirat pada lembar kerja. Beberapa siswa tidak memenuhi syarat ini. Di samping itu ada juga siswa yang tidak dapat melaksanakan instruksi pada LKS, karena kemampuan dasar untuk itu tidak dimiliki. Misalnya siswa diminta mengukur sudut menggunakan busur derajat, namun siswa tersebut belum mengerti menggunakan bususr derajat. Hal-hal tersebut menyebabkan siswa tidak dapat berpartisipasi secara maksimal dalam kelompoknya. Kelemahan ini mempersulit siswa menyusun soal dalam kegiatan problem posing, sehingga wajar bila terjadi penurunan ketuntasan.
Sebaliknya bagi beberapa siswa justru pembelajaran menggunakan metode ini mencairkan kejenuhan karena monotonnya pembelajaran sebelumnya. Mereka menjadi bersemangat memahami pelajaran dari sumber yang berbeda, yang digali oleh mereka sendiri. Dengan demikian pemahaman siswa lebih mantap sehingga pada akhirnya meningkat prestasi belajar dan mendongkrak nilai rata-rata kelas.
Dari hasil siklus II di atas, peneliti bersama kolaborator masih ada kelemahan yang harus diperbaiki yaitu terlalu sempitnya informasi yang ada pada teks prakondisi/cerita sebagai bahan penyusunan  soal (problem posing). Berdasarkan ini peneliti bersama kolaborator memandang perlunya siklus III untuk memperbaiki kelemahan tersebut.

SIKLUS III

Pada siklus ini  teks prakondisi diperluas cakupan informasinya agar siswa dapat mengembangkan soal yang dibuatnya, sehingga soal yang dihasilkan akan lebih bervariasi. Siswa diminta membuat soal secara individual sebanyak masing-masing 2 soal. Sehingga dihasilkan sebanyak 56 soal-soal buatan siswa, terdiri dari 55 jenis soal matematika yang tidak dapat diselesaikan dan 1 soal yang tidak dapat diselesaikan. Struktur sintaksis soal mulai bervariasi, yaitu 13 soal diantaranya adalah proposisi pengandaian. Selebihnya 42 soal adalah soal berproposisi tugas. Siswa juga mulai berani mengembangkan informasi dengan mengaitkannya dengan informasi yang baru, sehingga soal yang dibuat siswa menjadi lebih bervariasi. Tingkat hubungan struktur semantic soal juga berkecenderungan positif. Dari 55 soal tersebut,  ada 46 soal memiliki tingkat hubungan-0, enam soal memiliki tingkat hubungan-1 dan 3 soal memiliki tingkat hubungan-2. Soal yang dibuat siswa semakin kompleks. Pemahaman terhadap pelajaran semakin mantap. Pada akhirnya siswa diharapkan memiliki kemampuan memecahkan masalah.
Didukung oleh hasil di atas,  rata-rata nilai ulangan harian semakin meningkat dibanding siklus sebelumnya menjadi 7,14 dengan 75,7 % siswa tuntas. Ini berarti semakin dekat dengan nilai ketuntasan klasikal, 85 % (Depdikbud, 1989), dimana sebelumnya sangat sulit untuk dicapai dalam pembelajaran matematika.

Berikut ini merupakan hasil angket yang digunakan untuk mengetahui respon siswa terhadap proses pembelajaran dalam penelitian ini, sebagai berikut:
Dari jumlah siswa 37 orang, 22 siswa cukup menyukai matematika (59,5%), sisanya sangat menyukai. Sedangkan respon siswa terhadap pemebelajaran menggunakan pendekatan problem posing, sebagian besar (45,9 %) menjawab sangat membantu memahami pelajaran dan sisanya menjawab cukup membantu. Selanjutnya dilaporkan cara siswa menyusun soal dalam kegiatan problem posing bahwa 40,5 % siswa mencontoh soal di buku dengan mencoba memvariasikannya, 43,2 % dengan mencoba membuat sendiri dan sisanya mencontoh di buku dengan mengubah angkanya. Dari sini terlihat bahwa sebagian besar siswa tertantang untuk menyusun soal sendiri. Ini menunjukkan bahwa dengan pendekatan problem posing memberikan dampak positif bagi pemahaman siswa terhadap pelajaran matematika. Seperti sudah disinggung di atas, soal hasil buatan siswa menunjukkan perkembangan yang semakin komplek, yang pada akhirnya berdampak  positif terhadap peningkatan prestasi belajar siswa yang ditunjukkan oleh nilai rata-rata ulangan harian.

PENUTUP

Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa Pembelajaran matematika dengan pendekatan problem posing dapat  meningkatkan prestasi belajar siswa, khususnya siswa kelas II.4 SMP Negeri 1 Tanjung Raja Tahun Pelajaran 2004/2005.
Sebagai tindak lanjut peneliti menyarankan untuk meningkatkan prestasi belajar siswa dalam pembelajaran matematika, guru dianjurkan menggunakan pendekatan problem posing.

DAFTAR PUSTAKA

As’ari, Abdur Rahman. 1999. Pembelajaran Matematika Dengan Pendekatan
                Problem Posing, Buletin Pelangi Pendidikan Vol. 23 No.2.
                Jakarta : Depdiknas

Wibawa, Basuki. 2003. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Depdiknas

Depdikbud. 1989. Kurikulum SLTP, Petunjuk Pelaksanaan Penilaian.   Jakarta : Direktorat
                   Dikmenum
 

No comments:

Post a Comment